Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Makalah Keluarga Dan Sekolah Sebagai Pilar Pembudayaan Perilaku Anti Korupsi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Korupsi ialah kejahatan yang menerima perhatian masyarakat luas. Sejak abad reformasi, korupsi menjadi kejahatan yang secara terus menerus mendapatkan perhatian untuk menerima penanganan secara serius. Keseriusan untuk memberantas korupsi karena korupsi ialah kejahatan yang meminimalisir hak-hak warga negara dan mengakibatkan kesengsaraan dikalangan masyarakat. Berbagai studi memperlihatkan bahwa korupsi sudah merusak sendi-sendi kehidupan penduduk serta mengamputasi hak-hak masyarakat untuk menerima kemakmuran.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi telah meluas dalam penduduk , baik dari jumlah perkara yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun dari sisi kualitas tindakk pidana yang dijalankan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan penduduk .(Evi Hartanti : 2002)
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian korupsi ?
2.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan akhlak sebagai langkah awal ?
3.      Bagamana peran keluarga dalam pembudayaan perilaku antikorupsi ?
4.      Bagaimana peran sekolah dalam pembudayaan sikap antikorupsi ?
5.      Apa yang dimaksud dengan kantin kejujuran ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian korupsi
2.      Mengetahui pendidikan watak sebagai langkah pertama
3.      Mengetahui peran keluarga dalam pembudayaan sikap antikorupsi
4.      Mengetahui tugas sekolah dalam pembudayaan perilaku antikorupsi
5.      Mengetahui kantin kejujuran


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus. Menurut para ahli bahasa, corruptio berasal dari kata corrumpere, sebuah kata dari Bahasa Latin yang lebih tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption, korupsi diartikan selaku kebusukan, kejelekan, kebejadan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucianliteral berarti nation eating. Pengertian dari perumpamaan gin muong menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar kepada kehidupan suatu bangsa balasan dari adanya sikap praktik korupsi.
Korupsi ialah kejahatan yang menerima perhatian penduduk luas. Sejak periode reformasi, korupsi menjadi kejahatan yang secara terus menerus menerima perhatian untuk mendapatkan penanganan secara serius. Keseriusan untuk memberantas korupsi alasannya korupsi ialah kejahatan yang menghemat hak-hak warga negara dan menyebabkan kesengsaraan dikalangan masyarakat. Berbagai studi memperlihatkan bahwa korupsi telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan penduduk serta mengamputasi hak-hak penduduk untuk mendapatkan kemakmuran
B.     Pendidikan Moral Sebagai Langkah Awal
Pendidikan sejatinya ialah aspek pertama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, juga mempunyai integritas etika yang tinggi. Oleh alasannya adalah itu, maju mundurnya suatu bangsa sangat diputuskan oleh maju mundurnya pendidikan. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan biasanya mempunyai arti daya upaya untuk mengembangkan akal pekerti (kekuatan batin), fikiran (intellect) dan jasmani bawah umur, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk budbahasa serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Agar anak terlibat dalam proses pembudayaan nilai watak diperlukan adanya proses pembelajaran yang memfasilitasi pengalaman mereka untuk mengetahui nilai moral, mempraktekkan nilai budpekerti, dan terbiasa berbuat sesuai dengan hukum budpekerti yang berlaku. Dalam kaitan ini UNESCO (United Nations for Education Scientific and Cultural Organization) merekomendasikan empat pilar belajar, yakni: “learning to know, learningto do, learning to be, and learning to live together.”[1]. Penerapan empat pilar tersebut dalam proses pembelajaran memungkinkan anak menguasai cara memperoleh wawasan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama anak sehingga mampu mendapatkan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya mampu berjalan dengan tenaga guru yang sarat konsentrasi, peralatan yang mencukupi, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa mesti memburu sasaran ujian nasional.
Ada kesan besar lengan berkuasa bahwa baik guru, orang tua, maupun murid senantiasa didorong untuk mengejar dan mengumpulkan informasi keilmuan sebanyak mungkin tetapi melewatkan faktor pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka akan menghasilkan orang yang selalu memburu materi dan pemenuhan tuntutan physical happiness yang durasinya cuma sesaat dan potensial membunuh logika yang sehat dan nurani terdalam[2]. Pendidikan yang sehat yaitu yang secara sadar menolong anak  bisa mencicipi, menghayati dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal hingga yang estetikal, budpekerti dan spiritual[3]. Selama ini dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam taksonomi tujuan pendidikan:



1.      Domain kognitif
Menekankan faktor untuk mengingat dan mereproduksi info yang sudah dipelajari, ialah untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesiskan inspirasi-wangsit dan bahan gres.
2.      Domain kreatif
Menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi nilai atau tingkat kemampuan mendapatkan atau menolak sesuatu.
3.      Domain psikomotorik
Menekankan pada tujuan untuk melatih ketrampilan mirip menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain.
Dari ketiga domain pendidikan itu  idealnya selaras dan saling melengkapi[4]. Tapi kenyataannya,hubungan antara pergeseran sikap (efektif)  dan meningkatnya ilmu pengetahuan (kognitif) secara statistik condong bangun sendiri. Karena itu dalam penyelenggaraan pendidikan, jika dilihat dari tiga kerangka domain tersebut, ada hal-hal sangat problematis. Cenderung tidak terjadi keharmonisan perimbangan antara ketiga faktor domain pendidikan tersebut. Terlihat ada kecenderungan di salah satu aspek, sedangkan  faktor yang lain terabaikan.
Contoh perkara pendidikan Islam di Indonesia, kondisi yang demikian itu diperparah adanya kekeliruan persepsi keagamaan. Dengan demikian, pendidikan Islam di Tanah Air menjadi terhenti dan cenderung tidak bisa menghadapi pergeseran sosial. Hal demikian itu disebabkan pandangan keagamaan yang diajarkan tidak lagi kontektual dan tidak menjamah permasyalahan kehidupan penduduk . Musibah ini terjadi alasannya adalah lagi-lagi orentasi pendidikan diarahkan pada pematangan faktor kognitif yang sungguh besar lengan berkuasa.
Pendidikan antikorupsi merupakan hal mendasar, mengingat tujuan dari pendidikan cuma berbagi dimensi koqnitif, tetapi juga dimensi afektif. Pendidikan aksara dan budpekerti yang bagus selama ini kurang menerima penitikberatan dalam tata cara pendidikan negara kita. Pelajaran PPKN, Agama atau Budi Pekerti selama ini dianggap tidak sukses alasannya mengajarkannya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan tersebut. Akibatnya anak berkembang menjadi manusia yang tidak memiliki abjad, bahkan dinilai lebih buruk lagi menjadi insan yang tidak mempunyai huruf, bahkan di nilai lebih buruk lagi menjadi generasi yang tidak bermoral. Selama ini merosotnya mutu pendidikan nasional cuma terfokus pada problem untuk mempersiapkan anak biar mampu berkompetisi di masa pasar global, sehingga yang disorot hanyalah hasil kelulusan (output) belaka.Sementara penanaman akhlak dan  pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk bisa mencetak generasi yang tidak cuma pintar secara intelektual, namun juga pandai secara emosionaldan spiritual menjadi terlupakan.
Pendidikan antikorupsi bagi pelajar yakni langkah pertama yang ditempuh untuk mulai melaksanakan penanaman nilai ke arah yang lebih baik sejak usia muda. Anak ialah mereka yang dalam waktu relatif singkat akan secepatnya bersentuhan dengan beberapa faktor pelayanan publik. Dengan demikian, bila mereka mampu memahami lingkup, modus, imbas dari korupsi, baik dalam lingkup yang paling bersahabat dan dalam skala yang paling kecil hingga lingkup makro dan meliputi skala yang besar maka minimal mereka mulai berani berkata “tidak” untuk korupsi.
Namun apabila di runtut penyebab terutama yaitu pendidikan, yang di awali dari lingkungan keluarga, lalu sekolah, dan penduduk mesti gotong royong secara kolektif melakukan pembudayaan perilaku kejujuran dan keadilan, dalam kata lainnya pendidikan anti korupsi. Hal itu wajib di jalankan jangan hingga problem yang sudah endemik ini dibiarkan begitu saja bahkan masuk kedalamnya. Perlu adanya gerakan nasional yang di awali dari pendidikan.
C.    Peran Keluarga Dalam Pembudayaan Perilaku Antikorupsi
Pada usia bawah umur, keluarga  memiliki andil yang besar untuk memberi pesan akhlak.  Keberhasilan anak tidak cuma diukur dari tinggi rendahnya nilai, akan namun juga kejujuran, adab atau kebijaksanaan pekerti yang dimiliki.
Upaya pemberantasan korupsi dalam jangka panjang akan menuai keberhasilan jika dijalankan dengan kombinasi antara represif, preventif dan edukatif secara integral.[5]
Orang renta, meski bukan guru, seharusnya juga seorang pendidik dan pembimbing bagi anak-anaknya. Tidak banyak orangtua yang menyadari hal itu, tetapi secara alamiah mereka pun akan menjadi pendidik dan pembimbing, karena para orangtua bertanggung jawab atas pertumbuhan keturunan mereka. Tumbuhnya etika pendidik(educator) dalam diri orang renta memang bersifat relatif. Ada orang yang menonjol(explicite)dalam sifat tersebut, ada pula yang tidak memberikan sifat-sifat(implisite) pendidiknya, sekalipun bahu-membahu mempunyai peluangcukup besar, contohnya dilihat dari sudut jenjang pendidikan, ragam pekerjaan, dan tanggung jawab atas generasi penerus. Untuk menumbuhkan kemampuan mendidik ini, seseorang mesti mempunyai kesadaran yang tinggi sekaligus pengalaman hidup yang luas, dan bersedia untuk selalu senantiasa bersentuhan dengan dilema-problem di sekitarnya. Pendidik memiliki sifat universal. Karena tanggung jawabnya, pendidik juga mempunyai saluran langsung terhadap bidang-bidang lain mirip administrasi (managerial) dan kepemimpinan (leadership). Menjadi pendidik, pemimpin dan guru, merupakan suatu proses berlanjut yang menempatkan pribadi insan dalam satu hamparan kontinum menuju kesempurnaan hidup. Pendidik dan pemimpin yakni basis atau dasar bagi pembentukan konsep guru dan manager.
Pendidik dan pemimpin sepertinya mesti mempunyai sejumlah atribut yang muncul dari tempat di mana beliau berada, adalah atribut yang lekat dengan tugas yang dimainkan dalam proses pembudayaan dalam masyarakatnya. Pendidik dan pemimpin dengan begitu tumbuh dari kesadaran dari proses pendidikan yang secara informal dialami oleh insan sepanjang hayatnya. Ia mencar ilmu tidak dari lembaga pendidikan formal tetapi dari lembaran-lembaran hidup yang sudah dialaminya terus menerus. Apabila dicermati dari beberapa bagian kajian yang ada, adalah posisi sosial, lingkar kekuasaan yang dirasakan, atribut, dominasi kekuatan, tugas yang dimainkan, dan sumber kekuasaan, maka pendidik adalah manusia yang mempunyai fungsi utama dalam dirinya untuk membudayakan secara faktual potensi yang ada, demi kepentingan bareng . Pendidik ialah manusia yang berhubungan dengan hati nurani, memiliki kesadaran budaya, dan memiliki aktualitas diri yang tinggi untuk menjadi (to-be) sekaligus mempunyai (to-have).
Proses kemajuan etika ialah proses perkembangan otak. Karena itu perkembangan susila berafiliasi akrab dengan pertumbuhan kognitif seseorang[6]. Anak-anak dan akil balig cukup akal membentuk pemikiran etika mereka seiring dengan kemajuan mereka dari tahap yang satu ke tahap berikutnya, dan bukan cuma bersikap pasif dengan mendapatkan saja moralitas sebuah kebudayaan. Tahapan-tahapan tersebut yaitu sebagai berikut:
1.      Usia 2 hingga 7 tahun
Dari penyelidikan dimengerti bahwa anak diantara usia 2-7 tahun belum mampu membuat pertimbangan-pertimbangan tentang baik atau jelek sebuah tindakan. Mereka patuh untuk melaksanakan sebuah perbuatan tertentu, maksudnya untuk menyenangkan orang tua dan mendapat pujian, serta tidak melakukan suatu tindakan yang dihentikan adalah alasannya takut akan eksekusi. Mengajar anak kejujuran dalam fase ini mampu dilakukan utamanya melalui penguatan kasatmata terhadap kejujuran, dengan memuji dan menghargai perbuatan jujurnya dan penguatan negatif kepada perbuatan tidak jujur dengan mencela dan menghukum perbuatan tidak jujur serta mengajar melalui peneladanan oleh orang bau tanah atau guru.
2.      Usia 7 sampai 10 tahun
Anak usia ini mulai mengetahui dan mengunakan konsep. Maka rancangan kejujuran mulai dapat diajarkan, demikian juga konsep ihwal ketidakjujuran dan balasannya. Hati nurani anak mulai terbentuk dan anak mulai mengenali wacana baik buruknya suatu tindakan. Cara berpikirnya masih sangat terbatas terhadap tindakan yang kasatmata (kasatmata) dan anak belum mampu menyaksikan dari sudut pandang orang lain. Mengajari anak wacana kejujuran dalam fase ini selain dengan peneladanan dan penguatan positif dan negatif, juga lewat dongeng dan kasus nyata yang dapat dibayangkan anak. Lalu ditanyakan apa karenanya dari tindakan tidak jujur orang tersebut. Pada usia ini motivasi untuk melakukan hal yang baik sudah harus berpindah dari mengasyikkan orang tua, kepada argumentasi bahwa melakukan perbuatan baik membawa rasa senang dan damai pada diri sendiri, karena sesuai dengan hati nuraninya.
3.      Usia 11 sampai 13 tahun
Pada usia ini, anak telah mulai mampu berpikir kearah abstrak dan sanggup menyaksikan dari sudut pandang orang lain. Ia sudah dapat membedakan motivasi yang ada dibelakang suatu perbuatan dan mampu menimbang-nimbang tindakan dari segi motivasi atau niat itu.
4.      Usia 13 sampai dewasa
Remaja dan cowok telah mampu berpikir abstrak dan menciptakan hipotesa. Mereka mempunyai tolok ukur wacana yang baik atau buruk tindakan dari diri mereka sendiri. Pada usia ini tingkah laku akhlak yang sesungguhnya baru muncul. Masa ini perlu dipakai baik-baik untuk menanamkan kesanggupan berpikir berdikari dan bertanggung jawab dalam menciptakan penalaran moral. Para dewasa mampu menginterpretasi penilaian adab dan menjadikannya sebagai nilai eksklusif. Dari penelitian diketahui bahwa kemajuan mempribadikan desain(internalisasi) terjadi lewat identifikasi dengan tokoh yang dianggap selaku pola atau model (hero worship).
Sampai sekarang tidak sedikit orang yang meyakini bahwa nilai itu meningkat dan dibina di sekitar keluarga, alasannya relasi Insani antara orang renta dengan anak di keluarga sungguh dekat sehingga memungkinkan terjadinya pewarisan nilai yang insentif dalam setiap aktivitasnya, baik lewat sikap dan perbuatan maupun anutan.
Orang renta hanya mempunyai waktu yang sedikit seharinya untuk berdialog secara mempunyai arti dengan anaknya[7]. Akibatnya, berdasarkan Louls Raths  (1978), potensi mendiskusikan kegiatan-aktivitas harian yang memiliki arti itu hilang. Akhirnya, anak akan mendapatkan dan menginternalisasi nilai dari luar, salah satu diantaranya dari sahabat-teman sebaya.
Pergaulan dengan teman sebaya akan menambah pembendaharaan informasi yang akhirnya akan memengaruhi berbagai jenis dogma yang dimiliki oleh anak.[8] Kumpulan iktikad yang dimiliki oleh anak akan membentuk perilaku yang mendorong untuk memilih atau menolak sesuatu. Informasi, sikap dan kebiasaan sahabat sebaya sungguh berpengaruh pengaruhnya alasannya adalah diantara mereka relatif lebih terbuka dan intensitas pergaulannya relatif sering, baik di sekolah maupun di lingkungan penduduk . Kelompok sebaya mempunyai hukum main sendiri, dan anak cenderung menyesuaikan diri dengan hukum main tersebut dengan impian agar diterima oleh kelompoknya. Jika nilai yang disampaikan sahabat sebaya tersebut negatif akan membiaskan internalisasi nilai-nilai luhur yang semestinya mereka miliki.
Di samping itu, tokoh politik, selebritis, dan para pejabat publik ialah salah satu bagian penduduk yang mampu memengaruhi perilaku anak. Masing-masing figur dapat memperlihatkan nilai yang berlawanan, bahkan tidak jarang perilaku yang diperlihatkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur moralitas bangsa. Persoalan ini memperbesar kebingungan anak. Kebingungan anak terhadap nilai, diperluas dengan derasnya arus berita dari media komunikasi.
D.    Peran Sekolah Dalam Pembudayaan Perilaku Antikorupsi
Sekolah selaku lingkungan kedua bagi anak, mampu menjadi daerah pembangunan abjad dan adab. Sekolah dapat menawarkan nuansa yang mendukung upaya untuk menginternalisaksikan nilai-nilai dan adab yang mau ditanamkan, tergolong di dalamnya perilaku antikorupsi. Upaya yang dapat dilaksanakan untuk penanaman teladan pikir,  perilaku dan perilaku antikorupsi adalah lewat sekolah, sebab sekolah yakni proses pembudayaan.[9]
Pendidik ialah profesi yang mulia, pekerjaan yang bukan hanya mengajarkan menulis, membaca, menghitung, membedakan warna atau mengenal bentuk mata uang, akan tetapi pendidik ialah orang yang mentranformasikan wawasan  (knowledge) sekaligus perilaku (behavior) terhadap penerima didik. Kalau wawasan yang salah di transferkan kepada peserta latih tentunya itu dapat diperbaiki oleh waktu , akan tetapi jika prilaku yang salah dan di justifikasi lalu ditansformasikan kepada akseptor bimbing tentunya ini akan melahirkan generasi-generasi yang menyimpang. Dari sini muncul pameo, jikalau profesi guru itu lebih ancaman dari pada dokter, artinya kalau dokter salah dalam mendiagnosa penyakit seorang pasien dapat menjadikan seorang pasien tersebut meninggal, sedangkan guru jikalau salah dalam mentansformasikan ilmu dan prilaku akan “membunuh” empat puluh orang dalam satu lokal. Untuk itu pendidik/guru mesti memiliki hati nurani.
Sadar atau tanpa sadar pendidik atau guru ialah ujung tombak dari sebuah negara dalam pencapaian visi dan misi, hal ini menyebabkan guru masuk kedalam system politik secara luas pada suatu Negara. Di Indonesia dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional tugas guru sangat signifikan, namun ini kadang kala tidak disadari oleh setiap guru. Pendidilan Nasional yaitu pendidikan yang menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap kepada permintaan pergeseran zaman. Untuk mewujudkan keinginan ini, diharapkan usaha seluruh lapisan masyarakat. Dilihat dari tugas guru sebagai pelaksana tujuan Pendidikan Nasional, Pendidikan ialah pilar tegaknya bangsa. Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak bisa menjaga martabat. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk moral serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya kesempatananak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, pintar, cakap, inovatif, mampu berdiri diatas kaki sendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Visi dan misi pendidikan nasional sudah menjadi rumusan dan dituangkan pada bagian “penjelasan” atas UU 20/2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional. Visi dan misi pendidikan nasional ini yaitu ialah bab dari seni manajemen pembaruan tata cara pendidikan.
Pendidikan nasional memiliki visi terwujudnya system pendidikan sebaga pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk mempekerjakan semua warga Negara Indonesia berubah menjadi manusia yang bermutu sehingga bisa dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berganti.
Pendidikan di Indonesia tentunya memiliki peranan penting dalam menyebarkan nilai-nilai antikorupsi. Karena manusia yang lahir lewat sektor pendidikan adalah insan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Di ketika institusi lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan dapat dijadikan benteng terakhir kawasan membuatkan nilai-nilai antikorupsi. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan akhlak anak. Pendidikan harus dijadikan sebagai pilar paling depan untuk menghalangi korupsi dalam rangka membuat pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) untuk periode yang akan datang.
Saatnya dunia pendidikan mendorong upaya pemberantasan dan pencegahan praktik korupsi dengan serius. Institusi pendidikan diyakini sebagai daerah terbaik untuk membuatkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Peserta didik yang akan menjadi tulang punggung bangsa di kurun mendatang semenjak dini mesti diajarkan untuk menjauhipraktik korupsi dan dapat turut aktif memeranginya. Dengan cara melakukan pembinaan pada faktor mental, spiritual dan sopan santun (Prayitno, 2007).
Pendidikan ialah sebuah proses berguru dan penyesuaian individu-individu secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan keinginan masyarakat. Suatu proses dimana sebuah bangsa menyiapkan generasi mudanya untuk melakukan kehidupan dan untuk memenuhitujuan hidup secara efektif dan efisien (Sanaky, 2009). Dalam rangka mencerdaskan kehidupan kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms)seperti menghargai pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas. Dilihat dari maksudnya, memasukkan pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan ide yang sangat cerdas.Karena anak merupakan kalangan umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya. Menurut Hassan (2004:8) pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan sebuah langkah untuk memutus mata rantai agar korupsi pada saatnya kelak tidak lagi menjadi budaya. Untuk mencapai hal tersebut lingkungan sekolah mesti bisa memberikan contoh-pola kasatmata keluhuran sikap, terutama adanya keteladanan dari pendidik itu sendiri.
E.     Kantin Kejujuran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:68), jujur artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan tulus. Kejujuran dapat diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati dan kelurusan hati. Menurut buku panduan Kantin Kejujuran tingkat pelajar terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan sikap antikorupsi adalah nilai kejujuran. Apabila anak sejak dini mempunyai dan bisa menerapkan nilai kejujuran di dalam keseharian, diperlukan untuk jangka waktu ke depan mereka mampu selalu bertingkah jujur. Kejujuran yakni nilai hidup yang bersifat universal. Setiap orang dari semua bangsa dan agama mengenal kejujuran meskipun tidak setiap orang mampu dan berani melakukan. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran sifatnya berjenjang sesuai dengan usia pertumbuhan anak.Pendidikan antikorupsi melalui pendidikan, salah satu caranya ialah mengasah kejujuran dan menumbuhkan mental antikorupsi di golongan pelajar. Salah satu di antaranya yakni melalui Kantin Kejujuran yang berada di lingkungan sekolah mulai dari tingkat SD, SMP, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi. Kantin kejujuran mampu menjadi tempat pembelajaran bagi anak ihwal pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, yang pada kesannya akan bermuara kepada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus menimbulkan generasi antikorupsi. Didalam menyebarkan kantin kejujuran selaku salah satu strategi pendidikan antikorupsi, hal ini tentunya tidaklah gampang. Terutama aspek yang menjadi penunjang dan penghambat dalam pengembangan kantin kejujuran tersebut.
Pengembangan kantin kejujuran tersebut tentu tidak terlepas dari peran banyak sekali pihak dan keadaan lingkungan sekolah dalam mensosialisasikan serta menginternalisasikannya kepada siswa. Pengembangan kantin kejujuran tersebut mampu diterapkan dalam rangka menanamkan nilai-nilai kejujuran terhadap anak semenjak dini. Tantangannya lalu yakni bagaimana mengembangkan dan memelihara kantin kejujuran dengan melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Memelihara dan memperkuat nilai-nilai kejujuran tersebut tentulah mesti tercermin dalam keseluruhan proses penyelenggaraannya.
Pendirian ”kantin kejujuran” adalah sebuah upaya yang sangat baik dalam melatih kejujuran para individu agar sudah biasa berbuat jujur. Dilihat dari penamaan kantin tersebut tentunyapendirian kantin tersebut bermaksud untuk menanamkan terhadap anak wacana arti penting suatu kejujuran. Kantin kejujuran merupakan salah satu model atau strategi praktik pendidikan antikorupsi bagi anak di lingkungan sekolah. Nantinya anak akan dihadapkan pada dua opsi adalah ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak. Mentalitas siswa masih menjadi salah satu tantangan yang mesti dihadapi dalam berbagi kantin kejujuran di sekolah. Eko S. Tjiptadi, sebagaiDirektur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK mengemukakan dalam pelantikan kantin kejujuran di SMAN 1Ciparay di desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung bahwa: Kantin kejujuran ialah sebuah versi kantin yang dikontrol oleh bawah umur sekolah dengan modal jujur. Setiap anak sekolah berhak terlibat untuk menjadi pengelola dan pengelola kantin kejujuran. Prinsip keterbukaan dan kejujuran menjadi ciri utama dari para pengelolanya (Pikiran Rakyat, 2008). Menurut Syaharudin (2009) kantinkejujuran dalam pelaksanaannya tersebut tidak dijaga oleh seorang pelayan toko atau kasir.Kantin dibiarkan terbuka tanpa penjaga. Melalui kantin kejujuran, siswa belajar berperilaku jujur dan bersikap patuh dikala tidak ada orang yang memantau. Belajar jujur terhadap diri sendiri, secara pribadi mampu menyentuh kesadaran dan sikap siswa. Dengan adanya kantin kejujuran di sekolah dibutuhkan siswa mampu kembali melatih hati nuraninya pada saat membeli sesuatu di kantin tanpa diawasi oleh penjaga. Kantin kejujuran mampu menjadi suatu terapi semoga siswa nantinya tidak mempraktikkan korupsi sebab tindakan itu bisa menghancurkan mental penduduk dan negara. Sekolah dibutuhkan mampu menjadi contoh semoga lulusannya bisa menjadi sumber daya manusia yang jujur sehingga mampu membantu perubahan kasatmata di penduduk (Tuti, 2009:2).Pendirian kantin kejujuran di sekolah ialah fasilitas untuk membentuk sikap mental yang kasatmata, dan kepribadian yang jujur di golongan pelajar, sekaligus selaku media yang cukup efektif dalam menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab pada diri anak sebagai kader pemimpin bangsa dimasa yang mau datang. Dalam implementasi kantin kejujuran tersebut, para pelajar diberikan peluang untuk memilih sikap, akan berbuat jujur atau melaksanakan kecurangan. Harus disadari bahwa adab generasi muda ialah aset utama sebuah bangsa. Oleh kesudahannya, menyiapkan perilaku hidup dan perilaku jujur dengan susila yang baihttp://ilmuuntukibadah.blogspot.com/2016/12/bagian-6-keluarga-dan-sekolah
sebagai
https://ppakpjourney.blogspot.com//search?q=bab-6-keluarga-dan-sekolah">http://ilmuuntukibadah.blogspot.com/2016/12/bab-6-keluarga-dan-sekolah
sebagaiclip1\01\clip_image001.jpg">



Disusun Oleh
KELOMPOK 10

ULPAINI
USWATUN HASANAH
SYUKRONUL HAKIM








UNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
2019

KATA PENGANTAR

Sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena anugerah dan rahmat-Nya jualah sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, yang mana telah menyantap waktu dan pengorbanan yang tak ternilai dari semua pihak yang menawarkan bantuannya, yang secara langsung merupakan suatu dorongan yang kasatmata bagi penulis saat menghadapi kendala-hambatan dalam mengumpulkan materi materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sungguh jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyuguhan materinya maupun dari segi bahasanya. Karena itu rekomendasi dan kritik yang bersifat konstruktif selalu penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.


















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
A.    Latar Belakang .........................................................................................
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................
C.     Tujuan .......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A.    Pengertian Korupsi....................................................................................
B.     Pendidikan Moral Sebagai Langkah Awal................................................
C.     Peran Keluarga Dalam Pembudayaan Perilaku Antikorupsi.....................
D.    Peran Sekolah Dalam Pembudayaan Perilaku Antikorupsi.......................
E.     Kantin Kejujuran.......................................................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................     
A.    Kesimpulan................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................





[1] UNESCO, 1996
[2] Hidayat, 2003
[3] Bertens, 2000
[4] Helmiati, 2007
[5] Syaharudin (2009)
[6] Piaget dan Kohlberg (dalam Santrock, 2006)
[7] Thomas Lickona (1991)
[8] Djiwandono, 2004
[9] Hassan, 2004:9

Post a Comment for "Makalah Keluarga Dan Sekolah Sebagai Pilar Pembudayaan Perilaku Anti Korupsi"